Cangkrukan Budaya

 



Cangkrukan Budaya merupakan acara yang rutin dilakukan setiap hari sabtu malam bertempat di Beji Sirah Keteng Desa Bedingin. Pada Sabtu, 15 Januari 2022 cangkrukan budaya mengangkat tema "Wong Ponorogo Ojo Ilang Ponorogone". 


Acara ini dihadiri dari berbagai latar belakang. Diantaranya Pusat Studi Kebudayaan Mataraman Unipma, Pemerintah Desa Bedingin, serta Pelestari Budaya di Ponorogo. 


Dalam acara ini seluruh peserta aktif menyampaikan pendapat dan pandangannya yang berkaitan dengan budaya asli ponorogo dan upaya pelestariannya.


SUSUNAN PENGURUS KARANG TARUNA MANUNGGAL KAPTI


 

Reog Sepuh: Kembalinya Reog Tempo Doeloe di Bedingin


Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur bagian barat yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah atau lebih tepatnya 220 km arah barat daya dari ibu kota Provinsi Jawa Timur, Surabaya. Ponorogo terkenal dengan budayanya yaitu Reog. Oleh karenanya, kota ini juga dikenal sebagai kota Reog. Reog merupakan sendratari yang terdiri dari beberapa penari antara lain Pembarong, Bujangganong, Jathil, Klonosuwandono, dan Warok.

Di Desa Bedingin, Sambit, Ponorogo, terdapat kesenian Reog yang disebut dengan Reog sepuh. Kesenian ini muncul kembali bersamaan dengan kesenian jathil lanang pada tahun 2017, pada saat seorang mahasiswa ISI melakukan penelitian untuk skripsinya mengenai kesenian tersebut di Bedingin, Sambit, Ponorogo.

Reyog obyog di desa Bedingin Sambit

Pertunjukan Reog obyog di Desa Bedingin (Sumber: www.kompasiana.com/Nanang Diyanto)

Reog sepuh ini memiliki perbedaan dengan kesenian Reog yang biasa ditampilkan saat ini pada suatu pagelaran seni. Reog sepuh atau Reog tempo doeloe ini merupakan kebalikan dari Reog festival, dimana aturan sudah tidak berlaku lagi. Artinya sudah tidak menggunakan pedoman-pedoman dalam sebuah pementasan Reog. Perbedaan yang sangat terlihat adalah Reog festival hanya bisa dilakukan di tempat tertentu dan cenderung menggunakan banyak ruang, sedangkan Reog sepuh bisa menggunakan ruang sempit sekalipun yang terpenting dadak merak dapat bergerak bebas.

Dulunya, Reog tempo doeloe atau dikenal dengan Reog obyog ini biasa ditampilkan di pinggir-pinggir jalan dengan bentuk dadak meraknya berbeda dengan sekarang dimana memiliki ukuran yang lebih kecil dan memiliki moncong harimau yang lebih panjang serta biasanya dilakukan oleh tiga orang tidak hanya satu orang seperti sekarang. Selain itu, menurut Kepala Desa Bedingin, musik yang mengiringi Reog tempo doeloe dengan Reog sekarang ini berbeda. Dahulu kala, saat mendengar musik pengiring Reog masyarakat seketika merasa terhipnotis dan menikmati alunan musik tersebut dengan secara tidak sadar menghentakkan kedua kakinya. Seperti namanya, Reog obyog lebih mengutamakan kebersamaan dan kesenangan (hiburan) para pemain dan dan orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan.

Dengan munculnya Reog sepuh ini diharapkan meningkatkan minat masyarakat sekitar untuk berkunjung ke Desa Bedingin dan meningkatkan minat generasi muda untuk mempelajari kesenian yang ada di Desa Bedingin ini.

Sumber:

Brillian, SD Nur Ilham. 2018. Koreografi Jathil Lanang dalam Pertunjukan Reog Cokro Menggolo di Desa Karangan Kecamatan Badegan Kabupaten Ponorogo. Skripsi. Surakarta: Institut Seni Indonesia.

Kompasiana.com (2017). Kebangkitan Jathil Lanang dalam Seni Reog Ponorogo. Diakses pada 01 Juni 2021, dari Kebangkitan Jathil Lanang dalam Seni Reog Ponorogo Halaman all - Kompasiana.com 

Sugianto, Alip. 2015. Gaya Bahasa dan Budaya Mantra Warok Reyog Ponorogo (Kajian Etnolinguistik). Prosididng Seminar Nasional Pendidikan “Inovasi Pembelajarab untuk Pendidikan Berkemajuan”. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

“KITAB AMBYO” Waskito Jawi


Gb. Kegiatan Pembacaan Kitab Ambyo di desa BedinginSambitPonorogo.

(Dokumentasi pada Kamis, 25 Maret 2021)

 

​Tradisi yang dimiliki oleh setiap daerah, desa, bahkan lingkungan masyarakat setempat berbeda-beda dan beragam cara dalam pelaksanaannya untuk melestarikan. Salah satu tradisiyang ada di Desa Bedingin, Sambit, Ponorogo adalah pembacaan Kitab Ambya yang difasilitasi oleh Komunitas Waskito Jawi. Pembacaan Kitab Ambya sendiri dilaksanakan di Lemah Gemplah, dimana tempat ini merupakan tempat wisata sebuah bukit batu besar bekas penambangan di Desa Bedingin, Sambit, Ponorogo. Komunitas Waskito Jawi, merupakan komunitas yang menaungi pelestarian pembacaan Kitab Ambyo di desa Bedingin ini. Kegiatan yang diikuti oleh penduduk desa setempat mulai dari anak-anak muda hingga generasi tua inibiasanya dilaksanakan pada malam hari tepatnya setiap tanggal 25 disetiap bulannya, kecualipada bulan Ramadan kegiatan ini ditiadakan. Pembacaan kitab ini biasanya diiringi dengan tembang macapat, dan sejauh ini kegiatan yang dilakukan setiap bulan ini sudah berjalan selamaempat bulan berturut-turut.


Tradisi yang masih dijaga ini bertujuan untuk melestarikan dan menyampaikan isi dariKitab Ambyo itu sendiri. Dimana isi dari Kitab Ambyo ini adalah kisah tentang nabi-nabi padazaman dahulu sampai dengan kisah tentang perjalanan hidup manusia di bumi yang ditulis menggunakan huruf arab pegon dan dengan terjemahan Bahasa Jawa.

 



Kitab Ambyo sendiri masuk di Desa Bedingin, Sambit, Ponorogo pada tahun 1995 M. Berdasarkan narasumber, salah satu sesepuh yang membacakan kitab ini. Beliau menceritakan awal mula masuknya Kitab Ambyo di Desa Bedingin, Sambit, Ponorogo. Diceritakan bahwa Kitab Ambyo ini ditulis oleh Mbah Kumiran dan dibacakan oleh Mbah Kaseman serta satu orang lainnya sebagai penyimak (pendengar), dimana tiga orang ini sempat menuntut ilmu di pondok pesantren yang ada di Desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo.

Kitab Ambyo ini selain pembacaannya dilakukan sekali dalam satu bulan, kitab inibiasanya juga dibacakan ketika ada bayi yang baru lahir di desa tersebut. Biasanya dikemasdalam acara selametan (Genduri), kitab ini dibacakan sampai selesai atau khatam satu kitabkemudian ditutup dengan khataman Al-Quran bersama. Kitab Ambyo ini dibacakan dengantujuan agar bayi yang baru lahir tadi dapat meneladai sifat-sifat baik atau akhlakul karimah yang dimiliki oleh para nabi, sehingga si bayi nantinya dapat tumbuh besar dengan harapan memilikiakhlak yang baik pula.

Kebanyakan masih golongan generasi tua yang dapat memahami isi dari Kitab Ambyoini, maka dari itu masyarakat Desa Bedingin ini, dengan bantuan Komunitas Waskito Jawimengadakan kegiatan pembacaan Kitab Ambyo setiap bulannya dengan harapan generasi mudajuga dapat memahami isi dari kitab ini sekaligus berperan aktif dalam melestarikan tradisi ini.

© all rights reserved
made with by templateszoo